Minggu-minggu belakangan ramai orang membicarakan mengenai susu formula yang tercemar bacteri yang nama bacterinya saja membuat lidah orang awam terasa terasa sulit menyebutkan namanya. Ya...itulah Enterobacter Sakazakii yang merupakan bakteri gram negatif anggota famili Enterobactereaceae, bakteri yang sesungguhnya tidak terlalu terkenal/ bukan selebriti bakteri dikalangan microbiologist biasa. Memang bakteri ini tidak setenar saudara-saudaranya seperti E Coli, Salmonella, dan keluarga enterobakter lainnya. Selama sepekan ini bakteri tersebut mendapat sorotan khusus dari media bak sepasang selebritis yang sedang bercerai dan mendapat porsi tayang lebih di acara gosip TV, sehubungan hasil riset IPB yang menyatakan bahwa sebagian besar susu formula telah tercemar. Masyarakatpun menjadi gempar bercampur bingung oleh pemberitaan yang simpang siur antara IPB, BPOM, dan Dinkes sebagai institusi dan instansi yang dianggap kapabel dalam menangani masalah seperti ini.
Kemarin sore saya mendengar kumpulan ibu-ibu kampung yang sedang membicarakan masalah tersebut.
Ibu Narmi: Gimana Bu Titis, putranya masih dikasih susu*** tidak? Anak saya sementara berhenti minum susu***, lha takut je! Liat berita TV.
Ibu Titis: Ooo...yang katanya di susu ada itunya ya? hewan apa sih namanya? Anakku masih tak kasih minum susu***, nyatanya juga tidak apa-apa kok.
Begitulah kira-kira potongan pembicaraan dari ibu-ibu kampung ditempat tinggal saya, yang menggambarkan kebingungan mereka harus percaya dengan berita yang mana. Wajar saja jika masyarakat awam merasa bingung karena mereka akan mengkonsumsi berita dan bertindak sesuai Institusi atau lembaga yang capable dalam memberikan keputusan, sedangkan badan yang memberikan acuan pada masyarakat masih simpang siur. Atau pada intinya masyarakat hanya menerima hasil yang diumumkan lembaga tersebut, tanpa diberitahu atau mencari tahu secara mendetail.
Yang menjadi pertanyaan, bagaimana bisa IPB mempunyai hak untuk mengumumkan hasil risetnya tersebut tanpa sepengetahuan BPOM dan Dinkes? Karena ini menyangkut hajat hidup orang banyak dan efek yang timbul ditengah masyarakat apabila badan-badan ini masih beda pendapat? Dan seperti apa pemeriksaan rutin terhadap obat dan makanan yang selama ini dilaksanakan BPOM, apakah sudah berjalan dengan baik?Itu tidak akan saya bahas lebih lanjut.
Kalangan yang berkompeten dalam bidang kesehatan dan mikrobiologi tentunya akan lebih kritis menyikapi hasil riset IPB tersebut sehingga sebelum memberikan respon terhadap temuan IPB itu tentunya akan mencari tahu keabsahan hasil tersebut, karena yang namanya penelitian mikrobiologi terdapat banyak faktor yang harus dipenuhi sebelum mengambil keputusan/ kesimpulan secara general. Yang pertama mengenai tujuan penelitian tersebut apakah akan di generalisasi sehingga hasilnya pun akan berlaku secara general. Sehingga berpengaruh terhadap faktor kedua yaitu metode pengambilan sampel apakah sudah mewakili secara keseluruhan dan perulangan yang dipakai sudah cukup?Kemudian faktor yang ketiga mengenai metode analisa mikrobiologi. Di dunia industri yang sudah maju dan mengglobal biasanya mempunyai urutan sebagai berikut: pre-enrichment yang bertujuan me-recovery kondisi bakteri yang ada dalam sampel makanan, enrichment yang bertujuan membiakkan bakteri dalam sampel setelah di recovery, setelah pembiakan/pengkayaan dilakukan pembiakan di selektif medium sehingga tumbuhlah koloni khas bakteri yang diinginkan, kemudian dilakukan uji konfirmasi atau penegasan untuk memastikan bakteri yang bersangkutan yang biasanya dilakukan melalui test aglutinasi (Aglutination Test) maupun test gula-gula (Microbact). Sekarang juga banyak metode-metode baru yang lebih cepat/ rapid dalam mendeteksi bakteri seperti Chromogenic Sakazakii dari OXOID dan BAX System Enterobacter sakazakii. Faktor yang ketiga adalah analisa data hasil penelitian yang sesuai, sehingga kesimpulan dapat digeneralisasi.
Yang menjadi pertanyaan adalah seperti apa metode yang dipakai lembaga-lembaga seperti IPB, BPOM, dan Dinkes dalam melaksanakan risetnya? Bagaimana tingkat kevalidannya? Karena masing-masing metode akan memberikan tingkat kevalidan yang berbeda atau tingkat probabilitas hasil yang berbeda. Belum lagi permasalahan human error, sterilitas, SDM, dan sarana prasarana lainnya. Biarlah pihak yang lebih berwenang dan berkompeten yang menilainya.
0 komentar:
Posting Komentar